Senin, 24 Mei 2021

Creepypasta Story : Camp Stories

Camp Stories
Penulis: RiNacht
  
   
  
    James dan teman-temannya datang ke hutan untuk berkemah dan mulai menceritakan kisah seram didepan api unggun, tanpa menyadari kalau salah satu dari cerita seram mulai membawa mereka ke dalam sebuah petaka.

-----

     Aku akan menceritakan pada kalian kisah yang berhasil membuatku ketakutan hingga saat ini. Semua bermula ketika aku dan teman-temanku memutuskan untuk berkemah di sebuah hutan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga mereka memutuskan untuk menceritakan kisah itu.
     “Hei, aku bosan dengan perkemahan ini.” Steve mendengus, sesekali melempar kerikil ke sembarang arah. “Ayo bercerita!” Terdengar semangat yang membara dari ucapan Louis. “Aku terlalu tua untuk mendengarkan kisah anak-anak.” Matt memutar bola matanya, meremehkan pendapat Louis.
    “Kurasa ide Louis tidak buruk. Aku akan lakukan apapun untuk menghilangkan rasa bosan ini.” Steve berhenti melempar kerikil, sepertinya dia mulai tertarik dengan arah pembicaraan ini. “Ya, tentu saja. Bukankah perkemahan takkan lengkap tanpa cerita seram?” kataku menyetujui usulan itu. Sungguh keputusan yang salah. Harusnya aku tidak pernah menyetujui usulan Louis.
    Matt menghela nafas dan memandang tajam ke arah api unggun. "Baiklah, jika itu yang kalian inginkan. Siapa yang mulai pertama?"
    “Aku mau!” ucapku lantang. “Ceritakan,” perintah Matt.
    “Suatu hari, ada seorang laki-laki kurus dan kikuk bernama Matt. Dia sedang mendengarkan lagu menggunakan earphone,” ucapku dengan nada yang dibuat-buat seram.
    “Kenapa aku?!” Matt memprotes tidak setuju. “Diamlah, Matt. Ini cuma kebetulan kalian memiliki nama yang sama,” balasku sambil menyikut tangan Matt. "Oke, akan kulanjutkan. Matt sebenarnya tidak betul-betul sedang mendengar lagu. Dia hanya menempelkan earphone itu di telinganya tanpa memutar lagu apa-apa.”
    “Matt sangat bodoh,” sambung Louis.
    “Bilang saja padaku jika kamu ingin mati cepat,” kata Matt kesal. Aku dan Steve tertawa melihat kekonyolan Matt, lalu aku melanjutkan ceritaku.
    “Awalnya tidak ada suara apapun. Lalu, tiba-tiba earphone itu berbunyi. Matt berpikir kalau itu hanyalah lagu yang tak sengaja terputar karena ponsel tuanya memang sedikit bermasalah. Namun, itu tidak terdengar seperti lagu sama sekali. Suaranya terdengar seperti tawa cekikikan yang pelan, diiringi dengan bahasa yang tidak dia mengerti. Awalnya Matt mengabaikan itu semua, namun suara itu menjadi semakin keras, hingga membuat Matt merasa muak. Matt baru saja akan mencabut kabel earphone itu, lalu dia menyadari satu hal. Dia tidak tidak menyambungkan kabel itu dengan ponselnya sedari awal. Setelah dia menyadari semuanya, suara-suara aneh itu mendadak hilang. Bagaimana? Apa ceritaku seram? Ini kisah nyata loh.” Aku membusungkan dadaku dengan bangga pada mereka bertiga. Tentu saja ceritaku bohong, aku mengarang cerita aneh itu untuk membuat Matt jengkel.
    “Tidak juga. Tapi itu lumayan,” kata Louis lalu mengangguk, tanda kalau dia setuju dengan ucapannya sendiri. “Louis benar, walau itu tidak menyeramkan tetapi ceritamu tidak buruk,” sambung Steve.
    “Ceritamu jelek, James. Karena ceritamu dengan asal menggunakan namaku,” kata Matt sambil memutar kedua bola matanya. “Memangnya kamu punya cerita yang lebih baik dari punyaku?” tanyaku berusaha memancing emosi Matt. Matt tersenyum mengejek, dia menatap ke arahku dengan tatapan mengintimidasi. “Tentu saja, jauh lebih baik darimu.”
    “Kalau begitu silahkan mulai.” Matt mencari posisi yang nyaman di dekat api unggun, lalu dia memulai ceritanya.
    “Ada seorang anak kecil bernama Alice. Dia memiliki seorang teman khayalan atau biasa disebut teman imajiner. Semua orang menganggap itu hanya fase perkembangan, sehingga mereka tidak begitu memperhatikan dan hanya menganggap kalau teman imajiner Alice hanyalah fantasi dari anak berusia 7 tahun.”
    “Lalu? Apakah temannya itu nyata?” tanya Louis.
    “Diam, jangan memotong ceritaku,” cerca Matt, lalu kembali fokus dengan cerita. “Alice sadar kalau temannya tidak bisa dilihat oleh orang lain, tapi dia bersikeras kalau temannya itu nyata. Saat Alice dan ibunya menonton berita di televisi, Alice langsung menunjuk ke arah wartawan perempuan di layar. 'Leaf bilang wanita itu adalah pengikutnya' ujar Alice. Ibunya lalu bertanya pada anaknya, 'Siapa itu Leaf?'. Alice langsung menjawab, 'Temanku, tetapi dia tidak ingin menunjukkan dirinya kepada Ibu, dia bahkan memintaku memanggilnya dengan nama samaran agar Ibu tidak ketakutan'. Ibu Alice merasa ada yang tidak beres, dia selalu meminta Alice mengatakan nama asli dari Leaf. Tetapi meski dipaksa seperti apapun, Alice tidak ingin mengatakannya.”
    “Alice yang malang,” kata Steve iba.
    “Malang? Kenapa bisa?” tanyaku bingung.
    “Pasti sulit rasanya menerima fakta kalau orang lain tidak bisa melihat temanmu,” jawab Steve. Matt berpura-pura batuk agar kami kembali memperhatikan ceritanya.
    “Baiklah, mari kita lanjut. Akhirnya sang ibu menyerah menanyai nama sebenarnya dari teman imajiner putrinya. Namun, kejanggalan sering terjadi di rumah mereka. Seperti goresan pentagram di tubuh kucing peliharaan mereka, lampu yang sering berkedip atau darah yang entah dari mana asalnya. Saat sedang melewati kamar putrinya, Ibu Alice tidak sengaja mendengar suara putrinya sedang berbicara kepada teman imajinernya. Saat dia berusaha mendengar dengan lebih jelas, dia tidak bisa mendengar kata apapun. Jadi dia meletakkan perekam suara di dekat pintu kamar putrinya. Disaat dia mengambil rekaman itu dan memutarnya, dia tidak mendengar suara putrinya. Melainkan suara pria yang terdengar sangat jahat. Isi dari rekamannya adalah: AKU ADALAH LUCIFER, DAN AKU TELAH DATANG. AKU ADALAH LUCIFER, DAN AKU TELAH DATANG. AKU ADALAH LUCIFER, DAN AKU TELAH DATANG. AKU ADALAH LUCIFER, DAN KAMU TELAH MENGETAHUI NAMAKU.”
    “Itu… gila,” ucap Louis. “Jadi gadis itu berteman dengan Lucifer? Itu benar-benar diluar perkiraanku,” sambung Louis sedikit meringkuk. Sepertinya dia mulai terbawa suasana. “Ya, aku tidak ingin mengakuinya tetapi ceritamu cukup bagus,” kata Steve. Aku mengangguk setuju. “Yeah, hanya anak-anak tidak beruntung yang mengetahui siapa itu Lucifer,” ucapku. “Baiklah, ada cerita lain?” tanya Matt.
    Louis mengangkat tangannya ke udara dengan bersemangat. “Aku! Aku ingin bercerita!” Aku melirik ke arah Louis, meski terdengar antusias entah mengapa tatapan mata Louis terasa sangat kosong. Aku betul-betul bodoh karena tidak cepat menyadarinya. “Silahkan, Louis,” izin Matt.
    “Suatu hari, ada seorang pria pergi ke dalam hutan sendirian. Dia pergi ke sana bukan tanpa alasan, dia diperintahkan untuk mengambil peralatan berburu milik temannya yang tertinggal. Karena bayaran untuk mengambil alat itu sangat lumayan, dia menyetujuinya. Saat tiba di hutan, dia tidak menemukan alat apapun. Sebaliknya, dia malah tewas dibunuh oleh teman-teman yang memintanya untuk datang. Dia dikuburkan secara asal, sehingga membuat jiwa pria itu tidak bisa beristirahat dengan tenang. Sejak saat itu, hantu dari sang pria terus menggentayangi hutan, mengharapkan kebebasan. Tamat.”
    Matt mendengus geli. “Ceritamu sama sekali tidak seram. Jujur saja, cerita milik James bahkan lebih baik,” sarkas Matt.
    “Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu? Ceritaku adalah cerita nyata!” bela Louis. Seakan tidak berniat mengubris Louis, Matt melempar sebuah balok kayu untuk menambah besar api. “Meski pun begitu, kamu tetap tidak membawa ceritanya dengan baik. Apa tidak ada cerita yang bagus?! Payah sekali,” gerutu Matt.
    Dengan cepat, Steve mengangkat tangannya “Aku punya cerita yang bagus.”
    Semua memandang ke arah Steve, mencoba fokus dengan kisah yang akan dia ceritakan.
    “Apa kalian pernah dengar kisah tentang para Hamba Hutan?” Aku menggeleng. "Apa itu?"
    “Konon, beberapa hutan memiliki jiwanya sendiri. Sulit bagi hutan untuk mempertahankan jiwanya, karena itu hutan memerlukan energi kehidupan agar jiwanya terus hidup.”
    “Apa yang menyeramkan dari itu?” tanya Matt yang tampak tidak tertarik dengan cerita Steve.
    “Hutan mendapat energi kehidupan dari setiap hewan yang tinggal didalamnya. Namun, hewan-hewan itu akan habis cepat atau lambat. Hutan dengan jiwa yang tidak memiliki hewan di dalamnya akan mulai menghisap energi manusia. Siapapun yang mati di dalam hutan, maka hutan akan menyerap energi kehidupannya. Manusia yang energinya diserap oleh hutan, akan menjadi Hamba Hutan. Jiwa dari Hamba Hutan tidak akan bisa pergi ke akhirat. Dia akan terjebak selamanya didalam hutan, membantu hutan untuk mendapat energi kehidupan, hingga ada seseorang yang bersedia menggantikan posisinya sebagai Hamba Hutan. Hamba Hutan dapat terbebas menuju akhirat jika dia membunuh seorang manusia, dan manusia yang mati terbunuh oleh Hamba Hutan akan menggantikan posisi dari Hamba Hutan.”
    “Itu mengerikan,” ucapku merinding.
    Matt tertawa melihatku ketakutan dengan cerita Steve. “Oh ayolah, cerita ini bahkan tidak menakutkan sedikitpun. Lagipula, Steve. Ceritamu hampir sama dengan cerita milik Louis. Payah,” ejek Matt.
    “Aku belum selesai.” Steve menatap kedalam rimbunan hutan, seakan ada sesuatu yang dapat keluar dari sana kapan saja. “Tidak ada yang tahu hutan mana saja yang memiliki jiwa. Tapi tanda yang paling mencolok adalah hutan yang memiliki jiwa akan terasa sangat hening. Keheningan yang begitu mencengkam, rasanya keheningan itu bisa merobek ototmu kapan saja.”
    Louis mulai menggigil, meskipun posisinya yang paling dekat dengan api unggun. “Hei, tidakkah kalian merasa kalau hutan ini terlalu sepi?” tanya Louis.
    Matt menggelengkan kepalanya. “Ini hanya kebetulan saja, lagipula kisah Hamba Hutan itu terdengar sangat mengada-ngada.”
    Steve terlihat tidak senang dengan perkataan Matt. "Kalau begitu, kenapa kamu tidak mencoba untuk memanggil Hamba Hutan?"
    Dengan cepat aku menutup mulut Matt agar dia tidak membalas ucapan gila Steve. “Tidak, Steve! Itu gila! Bagaimana jika cerita yang kamu katakan itu benar? Matt bisa celaka!” Sejujurnya aku sendiri tidak terlalu yakin dengan kisah yang diceritakan Steve, tetapi aku terlalu takut untuk mengambil resiko. Silahkan bila mereka ingin menghinaku sebagai seorang pengecut, aku hanya tidak ingin terjadi suatu hal yang buruk selama perkemahan. “Tenang, James. Tidak semua hutan memiliki jiwa. Ditambah lagi, ceritaku hanya terlihat seperti karangan semata bagi Matt. Hei Matt, apa kamu takut?” tantang Steve. Matt yang mulai kehilangan kesabaran menepis tanganku dan menunjuk ke arah Steve.
    “Aku? Takut dengan cerita anak-anakmu? Hah! Kau membuatku tertawa. Ayo, katakan padaku bagaimana cara memanggil Hamba Hutan atau apalah itu namanya. Tidak ada yang bisa membuatku takut.” Dibandingkan Matt yang membara seperti api unggun yang berada di depan kami, Steve tetap terlihat tenang. “Menurut kabar yang beredar, kamu harus meneteskan darahmu ke tanah hutan. Bila hutan itu memiliki jiwa, bau darahmu akan mengundang Hamba Hutan untuk datang.”
    “Hanya itu? Tidak sulit. Apa kamu yakin ini bukan akal-akalanmu saja?” kata Matt.
    “Tidak apa bila kamu merasa takut, Matt. Itu wajar,” kata Steve dengan nada yang merendahkan. Matt mendecih. Dengan kasar dia mengambil pisau lipat dari tasnya dan menunjukkan pisau itu pada kami semua. “Kalian lihat? Akan kubuktikan kalau cerita konyol Steve hanyalah bualan.” Matt mengiris telapak tangannya, lalu meneteskan darah merah tua itu ke tanah.
    Satu menit, dua menit, tiga menit. Tidak terjadi apa-apa. Hanya ada keheningan dan suara kayu terbakar api unggun. Matt tersenyum bangga. “Sudah kubilang, ini semua tidak nyat-“ KRAAAK.
    Ucapan Matt terhenti seketika karena mendengar suara itu. Saat kami menoleh, kami melihat sebuah pohon besar yang baru saja tumbang, entah bagaimana caranya. “Apa-apaan itu. Steve, apa ini normal?” tanyaku pelan pada Steve.
    “Entahlah, James. A-aku tidak tahu.” Steve terlihat panik. Sedangkan Matt, dia hanya tersenyum geli. “Sudahlah, itu hanya pohon tumbang.” Namun tetap saja, aku merasa ada yang janggal. “Hei, lihat!” seru Louis sambil menunjuk ke dekat tenda. Seekor anak babi hutan kecil memporak-porakkan tas Matt dan menggigit seuntai sosis di mulutnya. “Sialan. HEI! ITU MAKANANKU!” Matt berdiri dan berusaha menangkap babi hutan itu, namun babi itu sudah melesat jauh ke dalam hutan.
    “Cih.” Matt mengambil paksa senter yang ada di genggaman Steve, lalu berlari menyusul babi hutan itu. “Apa yang kamu lakukan, Matt?!” tanya Steve yang terkejut dengan sikap Matt. “Mengejar hewan sialan itu” balas Matt. “Jangan, Matt! Itu terlalu berbahaya!” Aku berusaha mencegah Matt, tetapi itu seakan tidak ada gunanya. Matt terlanjur tenggelam dalam pelukan kegelapan hutan. Steve yang panik mulai terlihat kacau “Kita harus menyusulnya!” teriak Steve. “Apa kamu gila? Satu-satunya senter yang kita miliki ada di tangan Matt. Jika kita menyusulnya kita bisa tersesat!” ucapku frustasi. “Lalu, bagaimana dengan Matt?” tanya Louis gemetar. Steve dan aku saling bertatapan, kami sendiri ragu dengan kemungkinan yang ada.
    “Kuharap dia tidak memasuki hutan terlalu jauh,” harap Steve, sambil membuang beberapa dedaunan ke api unggun. Louis yang sedaritadi diam mulai angkat suara. “Aku tidak suka pada Matt, tetapi aku tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja. Aku akan pergi mencari Matt, kalian tetap disini menjaga api unggun.” Tentu saja aku tidak setuju dengan ucapan Louis. Hutan ini gelap dan bisa berbahaya untuknya. "Apa kamu yakin? Kamu bisa tersesat!"
    “Aku akan menggunakan senter di ponselku. Tetap jaga barang-barang di tenda, jangan pergi menyusulku.” Perlahan, Louis meninggalkan tempat perkemahan dan menembus kegelapan hutan. “Hah... hutan ini membuat kita semua gila” gerutu Steve. “Ya, ditambah memikirkan kisahmu tentang Hamba Hutan membuatku semakin gila,” sambungku. Steve menunduk, aku jadi merasa bersalah karena sudah menyalahkan Steve. “Kamu benar, James. Ini semua adalah salahku.”
    Tidak ada diantara kami yang ingin membuka suara. Untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman ini, aku memutuskan membuka ponselku. Sekadar membaca ulang pesan yang ada. Sayang sekali, sinyal di hutan ini sangat buruk. Disaat aku sedang melihat-lihat chat lama, aku tersadar akan sesuatu. Sesuatu yang tak pernah kusadari dari awal. “Hei, Steve. Siapa yang mengajakmu kemari?” Steve menoleh kearahku lalu mendongakkan kepalanya ke langit, berusaha mengingat-ingat. “Louis yang mengajakku. Saat siang hari, aku mendapat pesan dari Louis kalau hutan ini adalah tempat berkemah yang sangat bagus, lalu memintaku untuk datang ke hutan ini diwaktu sore. Itu lucu, karena biasanya Louis tidak suka berkemah.” Aku menatap tajam ke arah Steve, tindakanku yang tiba-tiba berhasil membuat Steve bingung. “Ada yang salah?”
    “Apa kamu tidak menyadarinya? Louis meminta kita datang ke hutan ini. Saat kita sampai, dia sudah menunggu kita di mulut hutan.”
    “Lalu kenapa? Menurutku itu tidak salah.” tanya Steve tak mengerti.
    “Ya Tuhan, Steve sadarlah. Saat kita datang, Louis hanya berdiri di dekat pohon, meminta kita datang ke arahnya. Kenapa dia meminta kita untuk langsung datang kemari? Dia bisa saja meminta kita datang ke rumahnya, agar dia bisa menjadi pemandu jalan ke hutan ini. Tetapi dia tidak melakukannya. Kita harus bergantung pada GPS untuk sampai ke tempat ini. Lalu, apa kamu sadar kalau Louis tidak membawa tas apapun kemari? Seakan dia-" Dengan cepat Steve memotong ucapanku. "Seakan dia sedari awal sudah ada di hutan ini…”
    Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki yang cepat. Aku dan Steve menoleh ke arah pepohonan. Jantungku berdegup kencang, aku takut dengan apa yang sedang menuju kemari. Namun perasaanku menjadi lega saat aku melihat itu adalah Matt, dia berlari seakan menghidari sesuatu. Dengan napas tersengal-sengal, Matt bercerita apa yang dia lihat. “Lou-Louis. Tolong Louis. Induk babi hutan menyerangnya. Cepat!” kata Matt sembari berusaha memperbaiki pernafasannya yang kacau.
    “Apa?!! Antar aku kesana, Matt!!” Aku hampir berlari menuju hutan disaat Steve menarik lenganku. “Apa kamu yakin kalau dia adalah Matt, James?” Aku menoleh ke arah Matt. Tatapan mata Matt terasa kosong. Lalu, luka di telapak tangannya telah menghilang. "Hamba Hutan..." gumam Steve.
    Matt menangis dengan tatapan mata yang tetap kosong. Dia berusaha meraihku dan Steve, tetapi kami bisa dengan mudah bisa menghindar. “Ayolah, kalian harus membantuku. Mereka akan membebaskanku jika aku menemukan penggantiku, sama seperti mereka membebaskan Louis.” Matt mengeluarkan pisau lipat dari sakunya, lalu berlari liar ke arah Steve. Steve menahan dan berusaha mengunci pergerakan Matt, tetapi dia tidak bisa melakukan lebih dari itu. “James, larilah! Aku akan menahan Matt. Tetapi ingat! Jika kamu melihatku lagi, jangan pernah mempercayai kata-kataku!” Aku gemetar ketakutan. Aku ingin menolong Steve, namun instingku berkata aku harus kabur. “Cepat, James! Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi!” Akhirnya aku memutuskan untuk kabur. Aku meninggalkan barang-barangku, termasuk meninggalkan Steve bersama Matt yang telah menjadi Hamba Hutan.
    Aku berlari, terus berlari. Hingga aku melihat cahaya terang dari ujung hutan. Saat aku keluar dari hutan, aku menghirup udara kebebasanku sebanyak-banyaknya. Disaat aku akan melangkah ke mobil kami, aku mendengar suara panggilan. “James, tolong aku.” Aku menoleh, Steve berdiri di mulut hutan dengan tatapan kosong. “Kakiku sakit, sepertinya aku tidak bisa berjalan lebih jauh dari ini. Kemari, tolong bantu aku mengobati kakiku.” Seakan terhipnotis, aku hampir kembali memasuki hutan itu. Sedikit lagi, sampai seseorang menepuk bahuku. "Hei, Nak! Apa yang kamu lakukan di hutan malam-malam begini?!" Seorang pria tua mengejutkanku, dan itu berhasil membuatku kembali sadar. "Hutan ini berbahaya! Tidak seharusnya orang sepertimu datang kesini! Apa saja yang dilakukan penjaga sebelum aku hingga membiarkanmu kemari?!" Pria itu terus mengguncang tubuhku dengan kuat. Saat aku kembali menoleh ke dalam hutan, Steve sudah menghilang.
    Aku menceritakan seluruh kisahku pada pria itu. Pria itu terlihat tidak percaya, namun dia tetap menelpon polisi dan menceritakan kisah yang kuceritakan padanya tadi. Polisi menyusuri hutan itu berhari-hari, tetapi mereka tidak menemukan siapapun kecuali barang-barang perkemahan yang kami tinggalkan. Menurut perkataan orang tuanya, Louis sudah tidak kembali ke rumah selama seminggu. Tidak ada seorangpun yang tahu kemana Louis, bahkan orang tuanya sendiri tidak mengetahui jika Louis perki memasuki hutan saat itu. Aku ingin mengatakan pada mereka tentang cerita yang pernah Louis ceritakan di depan api unggun, namun aku sendiri meragukan kebenaran cerita itu.
    Louis, Matt, dan Steve ditetapkan sebagai remaja yang kabur dari rumah, dan mereka tidak pernah ditemukan.
    10 tahun telah berlalu, dan aku masih merasa takut. Meski aku telah berusaha sekuat mungkin menghindari hutan manapun, aku tetap dihantui rasa bersalah. Harusnya aku bisa mencegah Matt mengejar babi hutan itu, harusnya aku bisa membantu Steve melawan Matt yang sudah menjadi Hamba Hutan, dan harusnya aku sadar kalau Louis sudah berubah mencurigakan. Hingga saat ini, disaat aku berusaha untuk tidur pada malam hari, aku masih bisa mendengar suara rintih Steve meminta tolong padaku untuk membebaskan dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar